Perjalanan Kopi Temanggung di Tangan Petani Millenial

Kopi temanggung

Sejarah yang Panjang

Bicara tentang kopi, Temanggung menjadi salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang mempunyai sejarah panjang dunia perkopian di Indonesia. Perkebunan kopi Temanggung bahkan dipercaya sebagai salah satu bagian penting dari perkembangan paling awal kopi-kopi di Nusantara.

Sebagai informasi, kopi di Indonesia kali pertama dikembangkan di Kedawung, sebuah perkebunan yang berlokasi tak jauh dari Batavia (Jakarta) oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada 1696. Penanamannya diinisiasi Walikota Amsterdam Nicholas Witsen. Bibit kopi tersebut diuji di lahan pribadi Gubernur Jendral VOC Willem van Outhoorn.

Ekspor Perdana, lalu Menguasai Eropa

Sempat mengalami kegagalan pada percobaan pertama, benih kopi itu menuai kesuksesan besar pada uji coba kedua. Dari kawasan yang sekarang dikenal sebagai daerah Pondok Kopi di Jakarta tersebut, kopi tumbuh dengan baik. Saat itu, varietas kopi yang ditanam adalah jenis arabika. Pada ekspor perdananya ke Eropa sekitar tahun 1706, empat kuintal kopi Jawa yang dikirim ke Amsterdam langsung memecahkan rekor harga lelang di sana.

Dua dekade setelah pengiriman perdana, yakni pada 1726, tidak kurang dari 2.145 ton kopi dari pulau Jawa telah membanjiri Eropa, mengangkangi kopi mocha dari Yaman yang sebelumnya menjadi penguasa pasar. Masyarakat dunia mulai menyadari potensi kopi yang kemudian disebut sebagai Java coffee itu. Untuk kopi dengan kualitas terbaik, orang Eropa bahkan mengganti kata kopi dengan kata “Java”. A cup of Java pun menjadi istilah populer di Benua Biru.

Perluasan dan Tanam Paksa

Selain di Jawa, perkebunan kopi juga dikembangkan di Suriname, yang kemudian meluas ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Sementara itu, permintaan produk kopi yang semakin tinggi membuat Belanda menerapkan tanam paksa pada 1830 demi menggenjot produksi kopi di Jawa. Semua yang ditanam adalah jenis arabika yang didatangkan langsung dari Yaman.

Kala itu perkebunan kopi juga mulai ditanam Sumatra, Sulawesi, Bali, Timor, dan Flores. Sayangnya, pada 1878 hampir semua perkebunan kopi yang berlokasi di dataran rendah di Nusantara rusak terkena hama karat daun (Hemileia vastatrix). Tahun-tahun selanjutnya, petani di Jawa gagal panen dan potensi mengekspor ratusan ribu kopi pun pupus sudah.

Varietas Robusta di Temanggung

Frustasi dengan arabika, Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda mencoba mengatasi gagal panen dengan mengatangkan kopi jenis liberika (Coffea Liberica) dengan harapan bakal lebih tahan dari serangan hama karat daun. Namun, upaya tersebut juga tidak membuahkan hasil. Tak patah arang, mereka pun kembali mendatangkan varietas baru, yakni kopi jenis robusta (Coffea canephora) pada 1907.

Dengan menanam kopi jenis robusta, hama karat daun tidak lagi menyerang perkebunan kopi yang berlokasi di dataran rendah. Pohon kopi di Temanggung yang kala itu lebih banyak ditanam di daerah dataran rendah juga turut terhindar dari hama tersebut.

Era Kejayaan yang Memudar

Temanggung adalah wilayah yang terdiri atas pegunungan dan dataran rendah. Willayahnya yang dikelilingi gunung berapi membuat tanah di Temanggung terbilang subur. Konon, daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Kendal itu sempat menjadi salah satu penghasil kopi robusta terbesar di Jawa. Namun, hama yang kembali menyerang tanaman kopi membuat para petani di Jawa putus asa.

Mereka pun memilih menebangi pohon kopi dan menggantinya dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan, termasuk di antaranya kakao, kelapa, dan tembakau. Hal itu terus berlanjut hingga era kejayaan kopi di Jawa pun memudar.

Kopi Temanggung Memasuki Babak Baru

Era kejayaan yang memudar tak lantas membuat petani kopi di Jawa benar-benar buyar. Di sejumlah wilayah, sisa-sisa perkebunan kopi era kolonialisme masih bisa kita temukan. Produk-produk kopinya juga masih bisa kita nikmati hingga sekarang.

Di wilayah Jawa Tengah, sejumlah perkebunan kopi masih lestari di Wonosobo, Ambarawa, dan Temanggung. Belakangan, kopi Temanggung bahkan menjadi salah satu produk “Kopi Jawa” yang mencuat di antara produk kopi Sumatra seperti Kopi Gayo dan Kopi Mandailing yang saat ini mendominasi pasar di Indonesia.

Cahyo Pratomo, salah seorang petani kopi muda asal Temanggung mengatakan, saat ini kopi Temanggung memang tengah memasuki babak baru. Lelaki 29 tahun itu mengungkapkan, seperti tembakau, kebun kopi juga tumbuh subur di banyak desa di sana, yang biasanya dikelola para petani lokal dan dirawat turun-temurun.

Karakter yang Khas

Sebagai anak seorang petani yang sehari-hari berkutat dengan kopi, Cahyo tahu betul bagaimana perkembangan Kopi Temanggung sedari lama. Mendiang ayah Cahyo adalah petani kopi, sementara sang ibu sehari-hari berjualan kopi di pasar. Maka, sangat wajar kalau hidupnya dipenuhi dengan kopi Temanggung. Dia bahkan bisa dengan mudah mengenali karakter kopi hanya dengan membauinya.

Cahyo mengatakan, Kopi Temanggung mempunyai karakter rasa rempah yang cukup kuat, khususnya untuk jenis arabika yang biasa ditanam di wilayah pegunungan seperti lereng Gunung Sumbing dan Sindoro atau dataran tinggi Dieng.

“Selain kopi, masyarakat pegunungan di Temanggung umumnya juga menanam cengkih dan tembakau sebagai komoditas. Inilah yang membuat arabika Temanggung memiliki karakter rasa rempah-rempah,” kata Cahyo di Depan Rumah, kedai kopi kepunyaannya yang baru saja berdiri.

Sementara, untuk jenis robusta, kopi di sana memiliki rasa yang sangat tebal, lebih tebal dari kebanyakan robusta, dengan aroma kakao dan brown sugar. Ini terjadi karena selain kopi, masyarakat setempat juga umumnya menanam coklat dan pohon kelapa di kebun mereka.

Menggandakan Potensi

Hidup Cahyo memang dipenuhi dengan kopi. Bertahun-tahun merantau untuk menempuh kuliah keguruan di Kota Semarang, atlet taekwondo tersebut tak bisa berhenti berpikir tentang kopi Temanggung. Alhasil, dia pun memilih pulang kampungpada 2018 untuk meneruskan bisnis keluarganya.

Di kota kelahirannya tersebut, Cahyo menemukan fakta bahwa para petani kopi di sana umumnya masih bergerak sendiri-sendiri. Mereka juga kurang memperhatikan kualitas kopi yang dipanen. Dia yang sempat datang untuk menawarkan cara menggandakan potensi panen kopi kepada para petani kopi Temanggung bahkan berkali-kali mengalami penolakan.

“Saya menawarkan metode ‘petik merah’ untuk para petani, tapi mereka menolak karena memakan waktu lebih lama,” ungkap Cahyo, belum lama ini. “Mereka jadi petani kopi sudah sangat lama. Saya ndak bisa apa-apa.”

Metode Baru yang Perlu Dibuktikan

Petik merah adalah metode memanen saat seluruh buah kopi sudah berwarna merah (ripe cherries). Kopi yang dipanen saat benar-benar sudah matang tentu akan memperbesar kuantitas panen. Dengan pengolahan yang baik, metode ini juga bakal menghasilkan biji kopi premium dengan kualitas yang sangat mumpuni.

Namun, saat menyambangi para petani itu, Cahyo memang belum mempunyai bukti apa pun, termasuk kepastian bahwa kopi premium yang dihasilkan bakal dihargai cukup layak atau tidak, atau lebih sederhana, adakah yang mau membeli?

Cahyo yang gagal menembus para petani kopi kawakan itu pun kemudian bermanuver dengan mendekati para anak petani yang kebanyakan juga seumuran dengannya. Beberapa kali melakukan persuasi, para remaja tanggung ini pun mulai tertarik.

Mulai Menuai Hasil

Usaha tak akan mengkhianati hasil. Inilah yang dipercayai Cahyo dan kawan-kawan petani muda di Temanggung. Merunut dari hulu ke hilir, alumnus Universitas Negeri Semarang menemukan fakta bahwa permasalahan terbesar petani kopi di Temanggung, khususnya untuk produk premium, adalah promosi dan penjualan.

“Hasil kopi di Temanggung biasanya untuk keperluan pabrik, dijual lewat tengkulak. Kopi kualitas apa pun dibanderol sama,” terang Cahyo. “Jadi, biar bisa jualan kopi premium, kami butuh pembeli yang menghargai kopi dan bersedia bertransaksi dalam jumlah banyak dengan harga yang sesuai.”

Gayung pun bersambut. Tak lama kemudian, Cahyo bertemu Reza Sarsito, pemilik PT Kopi Persada Negeri atau yang di Semarang lebih dikenal sebagai Kopen Indonesia. Reza yang kebetulan saat itu tengah ngopi di Depan Rumah mengatakan, perusahaannya memang tengah mencari produk premium untuk diekspor ke sebuah negara di kawasan Timur Tengah.

“Kami butuh (kopi) enam ton, lalu dipertemukan dengan Mas Cahyo. Cek sana, cek sini, akhirnya sepakat ambil kopi Temanggung premium jenis arabika,” terang Reza, yang segera disambut senyuman oleh Cahyo.

Untuk mendapatkan produk-produk kopi terbaik dan terpercaya, Kopen Indonesia memang tidak main-main. Reza dan tim biasanya akan menyambangi kebun para petani kopi di berbagai daerah untuk melihat proses pemetikan, pengolahan hingga pengemasannya. Selain meyakinkan diri, perjumpaan langsung dengan para petani juga menjadi bentuk niat baik agar ada kepercayaan antara pembeli dan penjual.

“Kami beli dalam jumlah besar untuk keperluan lokal dan ekspor, termasuk kopi Temanggung. Jadi, kami butuh mitra yang bisa dipercaya dan memercayai kami,” tutup Reza.

Bagi sebagian besar masyarakat Temanggung, tembakau adalah segala-galanya. Mereka lupa bahwa kota yang berada di punggung Gunung Sindoro dan Sumbing itu juga merupakan penghasil kopi. Kendati dari segi kuantitas belum bisa disandingkan dengan tembakau srintil di kabupaten tersebut, potensi kopi Temanggung sejatinya tak kalah besar.

Dinas Pertanian dan Katahanan Pangan Kabupaten Temanggung mencatat, luas tanaman kopi di Temanggung sekitar 12.000 hektare. Kurang dari separuhnya merupakan jenis arabika, sementara sisanya adalah robusta. Jenis tanaman terakhir bahkan diyakini sudah ditanam jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sejak zaman kolonialisme Belanda, perkebunan kopi Temanggung memang diperuntukkan bagi jenis tanaman kopi robusta, sebagaimana beberapa wilayah lain di Jawa Tengah seperti Wonosobo, Ambarawa, dan Muria. Maka, tidaklah mengherankan kalau biji kopi yang terkenal dengan rasa pahitnya yang tebal ini lebih mendominasi hasil produksi kopi di kabupaten tersebut.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

× Pesan kopinya, disini!